Ada apa dengan kita? Disaat mendapat keindahan, kita lupa akan Pemberi keindahan.
Ada apa dengan kita? Disaat dekat dengan kebaikan, kita tak tahu dari siapa kebaikan.
Ada apa dengan kita? Disaat semua tertawa, kita bahkan lupa Pemberi tawa.
Ada apa dengan kita? Disaat mendapat musibah, kita selalu mendekatkan diri dengan seolah terpaksa.
Ada apa dengan kita? Disaat cobaan menerpa, kita selalu berusaha mengingat sang Pemberi cobaan bermula.
Ada apa dengan kita? Disaat kawanan tak disamping, kita malah berlari menjauhinya seolah mereka meninggalkan.
Jangan hanya menyalahkan mereka, tapi salahkan diri kita.
Jangan hanya mengurungkan niat mulia, tapi kita tak tahu bagaimana caranya.
Jangan hanya so’ so’an kamu kuat, padahal kamu rapuh hatinya.
Jangan hanya manis dalam hari-harinya, padahal kamu sendiri tahu bahwa pahit yang sedang dirasa.
Asap mengepul tentulah ada api didalamnya.
Masalah timbul tentulah ada akar padanya.
Berdo’alah secara maqbul agar kau tahu jalan keluarnya.
Allah takkan memberi ujian melebihi batas kemampuan kita kok.
Tapi kenapa kita seolah merendahkan kemampuan yang diberikan Allah?
Kenapa kita malah meremehkan hasil karya cipta Allah?
Kita bukanlah kita bila tak tahu siapa kita.
Allah bukanlah Tuhan bila kalian tak tahu siapa Tuhan sebenarnya.
Manusia cenderung akan me-nomorsatukan sesuatu/seseorang.
Entah itu benda mati, benda hidup, benda ghaib.
Tinggal hati dan pikiran kita saja yang bertindak kemana.
Apakah akan memperhatikan hal yang mati? Benda hidup? Atau benda ghaib padahal hidup?
Itu tergantung kita.
Kita mungkin tak tahu bagaimana Adam a.s. yang sekuat tenaga berjuang hidup kala belum ada apa-apa di dunia.Kita mungkin lupa bagaimana Daud a.s. didera penyakit yang tiada henti mendera.Kita mungkin tak ingat bagaimana Ibrahim a.s. begitu berani melawan penduduk dan raja.Kita mungkin tak pernah membaca bagaimana Isa a.s. difitnah kaum tak bertanggung jawab bahwa beliau disalib.Kita juga mungkin sedikit tahu tentang bagaimana Muhammad S.A.W. menjadi suri tauladan seluruh manusia sepanjang zaman.
Apakah kesemuanya dilakukan dengan cara mudah?
Apakah mereka bisa bersenang-senang seperti kita saat ini?
Apakah para Nabi itu dianggap remeh oleh pendukungnya?
Apakah utusan terbaik Allah itu tak gentar ketika diberikan ujian?
TIDAK. Mereka manusia biasa. Ya. Manusia biasa.
Mereka makan, tidur, bisa berolahraga, sering menangis, bisa berdo’a, bisa mengeluh, mudah tertawa, tak takut akan jalan kebenaran. Itulah manusia.
Manusia diberikan pilihan oleh Allah seluas-luasnya untuk memilih jalan hidup.
Jalan kanan? Tentu akan mendapat kebahagiaan di akhirat kelak.
Jalan kiri? Tentu akan merasakan kesenangan di dunia saja.
Bila saja para Nabi tersebut mengikuti hawa nafsunya, tentulah kita takkan bisa senikmat ini beribadah.
Bila saja para Nabi takabur akan nikmat Tuhan-Nya, tentulah kita masih berada pada zaman kegelapan.
Zaman dimana kemaksiatan merajalela dibandingkan saat ini.
Bila saja para Nabi lupa akan karunia Allah, tentulah mereka takkan (lagi) menjadi suri tauladan Muslim sedunia.
Subhanalloh. Sungguh mulia mereka. Para Nabi yang Allah kirimkan ke muka bumi ini.
Apakah kita tak mau seperti mereka?
Memang terasa mustahil untuk bisa mencapai 100% menyamainya.
Memang terasa mustahil untuk bisa mencapai 100% menyamainya.
Tapi setidaknya kita harus berusaha untuk mendekati rekor pencapaiannya.
Banyak ibroh yang bisa kita petik dari mereka.
Maka dari itu, janganlah kita berputus asa dengan ujian ringan ini. Ya, ujian ringan.
Kita anggap semua ujian ini ringan.
Karena kalau kita menganggap semua ujian berat, kita akan terus terbebani dan tidak santai dalam menyelesaikannya.
Karena kalau kita menganggap semua ujian berat, kita akan terus terbebani dan tidak santai dalam menyelesaikannya.
Ingatlah pula, pelaut ulung takkan lahir dari ombak damai.
Mereka lahir dan dibesarkan dari deburan badai yang bertubi-tubi mendera.
Jalan menuju puncak gunung itu menukik tajam, berkerikil batu, berhembus debu.
Dan kita akan lupa semua itu bila kaki sudah memijaki puncak tertinggi bumi.
Ada apa dengan kita? Tidakkah kita tertarik melakukannya?
Wallohu a’lam.
0 comments: