March 26, 2012

Perempuan dan Motif Laku Korupsi

Oleh : Tri Wahyuni Kurniasih *)

Menjelang akhir 2011 ini, jagat hukum Indonesia kembali dihebohkan dengan tertangkapnya Nunun Nurbaetie dan ditetapkannya politisi Partai Demokrat Angelina Sondakh oleh  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam kasus Wisma Atlet..

Nunun dan Angelina merupakan contoh sedikit dari segudang persoalan perempuan yang masuk dalam lingkaran kasus-kasus korupsi. Masih banyak perempuan-perempuan lainnya yang tengah berurusan dengan tindak pidana korupsi.

Sebut saja Artalyta Suryani, Malinda Dee, Mindo Rosalina Manulang, Imas Diansari, Ni Luh Mariani Tirtasari, Engelina Pattiasina dan lain-lain. Apa sebenarnya motif perempuan-perempuan itu sehingga banyak yang melakukan korupsi?

Praktik korupsi merupakan masalah yang sangat kompleks. Korupsi bersifat multidimensi, baik menyangkut sebab maupun akibatnya. Korupsi bukan hanya bisa dilihat sebagai masalah struktur politik dan kekuasaan, tetapi juga bisa dilihat sebagai masalah struktur ekonomi, budaya, sosial atau pun moral kelompok dan moral perseorangan.

Korupsi juga bukan hanya dilakoni laki-laki, sosok perempuan kini lihai dalam memaikan perannya sebagai pelaku korupsi.

Apa yang dilakukan perempuan-perempuan itu sesungguhnya telah menimbulkan noda dan luka bagi perempuan-perempuan lainnya yang tengah gigih berjuang demi tegaknya kebenaran dan keadilan.

Di satu sisi perempuan dengan potensi dasarnya sebagai jiwa yang memiliki tipologi lemah lembut dan diasumsikan lebih telaten serta memiliki risiko lebih kecil melakukan korupsi, ternyata di balik guratan sifatnya itu tergambar sebuah ironi yang membuncah menjadi satu sifat yang siap mematikan nilai-nilai transendental keagungan budi.

Ini kemudian memunculkan pertanyaan apakah manusia ketika terdesak sebuah kepentingan, nilai-nilai dalam jiwa yang paling hakiki itu tak mampu membendung kekuatan yang merongrongnya? Ketika realitas mengalahkan segalanya, sifat kodratinya pun luntur. Kodrat sifat yang telah diberikan Tuhan kepada manusia tertutup oleh hijab realitas motif kepentingan.

Rasanya tak ada yang salah ketika kita membenarkan apa yang di ungkapkan Peter L Berger bahwa realitas itu tidak dibentuk secara alamiah, juga bukan sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Realitas dibentuk dan dikonstruksikan.

Realitas dipandang berwajah ganda atau plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Ketika perempuan, misalnya, yang sebenarnya memiliki naluri sifat feminitas terbentur sebuah kepentingan baik pribadi utamanya kelompok yang saat itu membutuhkan dengan segera, mau tidak mau realitas itu berbicara, yang terkadang  mendorong perempuan mengambil jalan pintas sampai melanggar batasan norma. Akhirnya terjebak pada kepentingan di atas kepentingan.

Realitas  kepentingan bisa mengalahkan sesuatu yang bersifat mapan dalam diri yang belum tersentuh oleh noda dan dosa. Sifat kodrati perempuan yang lebih keibuan menurut feminis May Knudsen, Maccoby dan Jaclin, akhirnya runtuh oleh realitas kepentingan. Walaupun laki-laki cenderung mendominasi, akan tetapi perempuan terkadang lebih berorientasi mementingkan kelompok sehingga perempuan sering terlena oleh realitas itu.

Konsumerisme
United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang publik untuk kepentingan pribadi melalui penyuapan, pemerasan, kolusi, nepotisme, penipuan dan penggelapan. Tindak laku korupsi didorong  oleh sebab perilaku konsumtif dan masyarakat kita dewasa ini semakin banyak yang masuk ke dalam lingkaran dunia konsumtif.

Pada dunia ini, kesenangan, kepuasan hidup ditentukan oleh seberapa banyak barang yang dimiliki dan yang dikonsumsi. Prinsip dasar masyarakat dunia konsumtif adalah ”saya ada karena apa yang saya miliki dan saya pakai” (Subinarto, 2011).

Dalam pandangan Juliet Schorr, dalam bukunya The Overspent American, adagium uang tidak akan mampu membeli kebahagiaan telah benar-benar dilupakan oleh masyarakat dunia konsumtif. Menurut Schorr, konsumerisme baru menegaskan bahwa kebahagiaan justru hanya bisa kita capai jika kita semakin banyak membelanjakan uang dan semakin banyak memiliki barang-barang berupa rumah mewah, mobil mengkilap, perabotan berkelas, pakaian bermerek dan sebagainya.

Sesuai dengan sifat perempuan yang sebagian besar suka berbelanja, bersolek dan gaya hidup yang glamor, memunculkan ruang gerak ketika ada kesempatan. Akibatnya, jalan salah pun ditempuh guna meluluskan pretensi (keinginan) dan self satisfaction (kepuasan diri). Banyak pihak menuding perilaku konsumerismelah yang menyebabkan praktik-praktik korupsi bangsa ini.

Lihat saja gaya hidup Malinda Dee yang bergaya hedonis sejati, memiliki koleksi mobil mewah, sejumlah rumah dan apartemen yang serba wah. Itu semua ternyata merupakan hasil menggelapkan uang nasabah. Artalyta Suryani yang menghuni tahanan layaknya hotel berbintang di dalam pengasingannya tak mau menanggalkan kehidupan glamornya. Itu semua membuktikan bahwa korupsi dekat dengan konsumerisme. Keberadaan seseorang ditentukan dari apa yang dimilikinya dan dari apa yang dipakainya.

Barang dinilai bukan dari fungsi dan kemanfaatannya, melainkan dari bagaimana barang-barang itu memberi citra, status serta gengsi bagi para pemakainya.

Kini sudah saatnya perempuan kembali kepada fitrah naluri feminitasnya yang santun dan berbudi. Perempuan wajib memberikan citra yang baik bagi generasi selanjutnya. Bebas dari belenggu kepentingan yang memihak dan menjauhkan diri dari budaya konsumtif yang lekat dalam sifatnya sehingga benar-benar memberikan citra positif bagi peradaban. ***

*) Penulis adalah Peneliti Islamic Education School Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Yogyakarta

0 comments: