Cianjur adalah salah satu kabupaten yang secara administratif termasuk dalam Kabupaten Cianjur. Masyarakatnya sebagian besar beragama Islam dan pada umumnya menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam.
Di daerah ini, tepatnya di Kampung Kandangsapi, Desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang ada sebuah kesenian tradisional yang bernama “rengkong”.
Asal-usul kesenian ini bermula dari pemindahan padi huma (ladang) ke saung (lumbung padi). Masyarakat Jawa Barat pada umumnya, termasuk masyarakat Warungkondang (Cianjur), di masa lalu --sebelum mengenal bercocok tanam padi di sawah (sistem irigarasi)-- pada umumnya adalah sebagai peladang (ngahuma) yang berpindah-pindah.
Padi ladang yang telah dituai tentunya tidak dibiarkan di ladang, tetapi mesti dibawa pulang. Mengingat bahwa jarak antara areal ladang dan pemukiman (rumah peladang) relatif jauh, maka diperlukan suatu alat untuk membawanya, yaitu pikulan yang terbuat dari bambu.
Mereka menyebutnya sebagai “awi gombong”. Pikulan yang diberi beban padi kurang lebih 25 kilogram yang diikat dengan injuk kawung (tali ijuk) ini jika dibawa akan menimbulkan suara atau bunyi yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan batang pikulan itu sendiri. Dan, bunyi yang dihasilkan menyerupai suara burung rangkong (sejenis angsa). Oleh karena itu, ketika bunyi yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan pikulan dikembangkan menjadi sebuah jenis kesenian disebut “rengkong”.
Konon, kesenian rengkong ini dikenal oleh masyarakat Warungkondang, khususnya masyarakat Kampung Sukaratu, Desa Cisarandi, sejak akhir abad ke-19. Adupan orang memperkenalkan dan atau mengembangkannya adalah Said (almarhum). Di kampung lain (Sukaratu) dikembangkan oleh seorang pengusaha genteng (1920--1967). Jadi, beban yang semula berupa padi diganti dengan genteng. Sedangkan, di Kampung Kandangsapi dikembangkan oleh Sopian sejak tahun 1967.
Peralatan
Peralatan yang diperlukan untuk mewujudkan kesenian yang disebut sebagai rengkong ini adalah peralatan yang menghasilkan bunyi rengkong itu sendiri dengan berbagai ukuran (ada yang besar dan kecil). Peralatan itu terdiri dan atau terbuat dari pikulan, tambang ijuk, padi, dan minyak tanah. Pikulan terbuat dari dari sebatang awi gombong (bambu gombong) yang tipis dengan panjang 2 atau 2,5 meter. Ujung yang satu dan lainnya terbuka (tidak tertutup oleh ruas bambu).
Kemudian, kurang lebih 30 centimeter dari ujung-ujungnya dilubangi (menyerupai kentongan) sepanjang kurang lebih 38 centimeter. Tambang ijuk yang panjangnya 2 sampai 2,5 meter berfungsi sebagai pengikat padi padi yang akan digantungkan pada sebatang awi gombong yang berfungsi sebagai pikulan. Kemudian, padi yang beratnya 20—25 kilogram sebagai beban pikulan. Lebih dari itu dikhawatirkan pikulan akan patah. Dan, minyak tanah berfungsi sebagai pengesat gesekan antara tali dan pikulan, sehingga gesekan menghasilkan bunyi yang nyaring. Peralatan lainnya adalah dodog dan angkung buncis.
Pemain dan Busana
Jumlah pemain rengkong secara keseluruhan ada 14 orang dengan rincian: 2 orang sebagai pembawa rengkong besar; 3 orang sebagai pembawa rengkong kecil; 4 orang sebagai pemain dodog, yaitu dodog: tingrit, tongsong, brung-brung, dan gedeblag; dan pemain angklung buncis yang terdiri atas 5 orang. Sedangkan, busana atau pakaian yang dikenakan adalah pakaian tradisional yang berupa: kampret atau pangsi, ikat kepala, dan sarung.
Pementasan
Kesenian rengkong yang ada di Warungkondang ini biasanya hanya dipentaskan dalam rangka memeriahkan hari-hari besar agama dan atau nasional (17 Agustusan) dalam bentuk arak-arakan. Dalam sebuah pementasan biasanya pemain rengkong yang berjumlah 5 orang berada di barisan depan. Kemudian, diikuti oleh para pemain angklung buncis dan para pemain dodog. Namun demikian, adakalanya pementasan dikemas secara kolektif. Artinya, para pemain boleh bergerak kemana saja (bercampur jadi satu).
Fungsi
Ketika rengkong belum dikembangkan menjadi sebuah jenis kesenian, ia semata-mata hanya berfungsi sebagai pengalihan perhatian dari seseorang yang membawa beban (padi) dengan cara dipikul. Dalam hal ini gesekan antara tali pikulan dan pikulan dimanfaatkan sebagai irama pengiring, sehingga beban yang relatif berat tidak begitu dirasakan karena karena diiringi oleh bunyi-bunyian yang khas. Dan, ketika rengkong menjadi sebuah jenis kesenian fungsinya juga tidak jauh berbeda, yaitu sebagai hiburan.
Sebagai catatan, kesenian yang disebut sebagai rengkong ini tidak hanya ada di daerah Cianjunr semata, tetapi juga di daerah Sukabumi dan Banten. Bedanya, di kedua daerah tersebut rengkong tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi ada fungsi lain yang melatarbelakanginya, yaitu ungkapan terima kasih kepada Dewi padi yang telah memberikan kesejahteraan berupa panen yang melimpah. Oleh karena itu, rengkong selalu ditampilkan dan kegiatan atau upacara penyimpanan padi ke lumbung.
Nilai Budaya
Kesenian adalah ekspresi jiwa manusia yang terwujud dalam keindahan. Oleh karena itu, kesenian apapun termasuk kesenian rengkong yang didukung dengan peralatan sederhana, mengandung nilai estetika (keindahan). Namun demikian, jika dikaji secara teliti kesenian yang disebut sebagai rengkong ini tidak hanya mengandung nilai estetika saja, tetapi ada nilai-nilai lainnya yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerja keras dan kerjasama. Nilai kerja keras tercermin dalam membunyikan suara khas yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan pikulan. Ini artinya, padi dengan berat tertentu dipikul. Dan, ini tentunya memerlukan kerja keras. Kemudian, nilai kerja sama tercermin dalam pementasan.
Dalam hal ini tanpa kerja sama yang baik mustahil pementasan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Malahan, ada nilai lainnya (religius) sebagaimana yang ditunjukkan oleh masyarakat Sukabumi dan Banten.
0 comments: