Mudah-mudahan penjelasan ini bisa membuat clear pertanyaan tentang sebutan "Gus" kepada saya menjelang dan saat deklarasi Calon Presiden (Capres) di Surbaya, Minggu (08/12/2013) lalu. Ada yang gigih bertanya dan minta jawaban, "Kalau dipanggil Gus, sebutkan YIM itu anak kiyai siapa?" Saya bukanlah anak kiyai siapa pun dan dan kiyai manapun di Jawa, khususnya di Jawa Timur. Saya tidak pernah mengaku demikian. Bahwa ada sekelompok orang di Jawa Timur memanggil saya Gus, saya tidak menolak dan membantah, tapi berusaha untuk memahami akar budayanya.
Dari segi budaya, panggilan 'Den Bagus' atau 'Gus' adalah umum untuk memanggil anak laki-laki dari seseorang. Di pondok pesantren di Jawa umumnya, panggilan Gus diberikan kepada anak laki-laki seorang kiyai pengasuh pondok pesantren. Sementara istilah kiyai itu sendiri dalam sejarah budaya Jawa mempunyai banyak arti. Istilah kiyai sudah ada sebelum Islam datang ke Jawa. Salah satu pengertian kiyai, diantara banyak arti yang lain, adalah ulama Islam atau guru agama di pondok pesantren.
Ayah dan kakek saya bukanlah seorang ulama atau guru agama di pondok pesantren di Jawa. Kami hidup dalam tradisi Islam Melayu yang mengenal ulama dan guru agama juga, tapi tidak diberi sebutan kiyai. Anak laki-laki ulama atau guru agama dalam masyarakat Melayu tidak diberi panggilan Gus seperti di Jawa. Bahwa kakek saya Haji Zainal Abidin bin Haji Ahmad bin Tengku Haji Muhammad Thaib bin Sultan Nurrasyid Khadimullah adalah seorang ulama, demikianlah masyarakat menganggapnya.
Tak ada siapa pun yg berwenang mengangkat seseorang jadi ulama. Ulama tidaknya seseorang tergantung pada penerimaan komunitas Muslim setempat. Bahwa ayah saya Idris bin Haji Zainal Abidin adalah seorang ulama dan guru agama Islam, demikianlah masyarakat setempat menganggapnya.
Leluhur kami sudah menunaikan ibadah haji sejak abad 17. Kakek saya membuat perahu kayu untuk pergi haji tahun 1882. Dia mukim beberapa tahun di Mekkah dan Madinah dan pulang membawa ratusan kitab agama.
Kakek saya adalah ulama konservatif yang mengharamkan huruf Latin dan menggangap listrik adalah bid'ah sampai akhir hayatnya. Pemahaman dan pengamalan kakek saya tentang agama tidak banyak bedanya dengan kiyai di Jawa. Dia menjaga tradisi Islam dalam konteks budaya Melayu. Membaca barzanji, tahlil, wirid yang panjang sangat biasa beliau lakukan. Kakek dan ayah saya membaca talqin selesai jenazah dimakamkan. Saya yang masih kecil duduk disamping beliau. Kapan mulai puasa dan akhir puasa, tak seorang pun yang berani putuskan di daerah kami kecuali kakek saya. Kalau beduk beliau tabuh menjelang Maghrib, maka besok orang kampung puasa atau lebaran.
Walau kita sudah merdeka, rakyat di daerah kami tidak perduli dengan menteri agama. Yang mutuskan kapan puasa dan kapan lebaran adalah kakek saya. Itu yang diikuti rakyat, bukan menteri agama. Kakek saya sangat anti Belanda. Dia menolak memasang gambar Ratu Wihelmina. Bahkan terang-terangan beliau memasang gambar Sultan Turki yang dianggapnya sebagai khalifah kaum Muslimin. Kakek saya tidak perduli Sultan Turki sudah dikudeta Kemal Attaturk.
Ayah saya meneruskan tradisi kakek saya, ketika kakek wafat tahun 1969. Ayah saya menjadi Kepala KUA dan hakim Mahkamah Syari'ah. Ayah saya sudah lebih modern dibanding kakek. Beliau sekolah di sekolah Belanda dan belajar agama dengan kakek.
Di Belitung, masyarakat umumnya memandang ayah saya sebagai ulama dan guru agama, walau tidak dipanggil kiyai seperti ulama di Jawa. Ayah saya anggota GPII tahun 1946 dan aktif di Masyumi setelah itu sampai Masyumi bubar. Karena saya anak dan cucu seorang ulama, maka ketika saya di Jatim, ada orang memanggil saya Gus, saya paham konteksnya.
Gus adalah panggilan untuk anak laki-laki seorang ulama atau kiyai di Jawa.
Panggilan kiyai untuk ulama atau pengasuh pondok dan panggilan Gus untuk anak laki-lakinya sudah sangat tua dalam tradisi Islam di Jawa. Panggilan kiyai dan Gus sudah lama jadi tradisi sebelum Nahdlatul Ulama berdiri tahun 1928. Jadi, tidak ada landasan historis dan kulturalnya untuk mengklaim sebutan kiyai dan Gus adalah "milik" warga NU semata. Bahwa anak seorang ulama Melayu ketika datang ke Jawa dipanggil Gus oleh sebagian orang, dari sudut budaya dapat saya pahami. Tentu panggilan Gus seperti itu tak dikenal dalam tradisi Islam di dunia Melayu.
Dalam Serat Ambiya, sebuah karya sastra Islam Jawa, dikisahkan kehidupan di zaman para nabi, termasuk zaman Nabi Muhammad s.a.w. Semua tokoh dan kerabat Nabi Muhammad s.a.w dalam Serat Ambiya diberi gelar dan sebutan bangsawan seperti di Jawa. Kakek Nabi Muhammad, karena menjadi penguasa kota Mekkah, 'kalau itdak salah' disebut Adipati Abdul Mutalib. Di Jawa atau Sunda, biasa Nabi Muhammad diberi sebutan "Kanjeng" seperti ucapan "salawat ka kanjeng" yang maksudnya Nabi Muhammad s.a.w. Istilah "Pangeran" di Jawa dan Sunda ditujukan kepada "Gusti" yakni Allah. Sedangkan kata "Kanjeng" digunakan untuk Rasulullah. Padahal dalam sejarah di dunia Arab, Nabi Muhammad s.a.w., tidak dipangil dengan istilah "amir" atau "kanjeng". Hanya di Jawa dan Sunda.
Kakek saya, Haji Zainal Abidin bin Haji Ahmad, sepengetahuan saya tidak pernah menjadi anggota Nahdlatul Ulama (NU) sampai akhir hayatnya. Tapi, amalan keagamaan beliau, seluruhnya sama dengan amalan keagamaan para kiyai di Jawa. Baru ayah saya yang baca Tafsir Zamakhsyari, al-Maraghi, dan al-Manar serta kitab-kitab filsafat dalam Bahasa Arab. Kakek saya hanya baca tafsir Jalalain, Baidhowi dan Ibn Katsir saja. Kakek saya agak anti filsafat, tetapi mendalami tasawwuf. Berpegang teguh pada kalam Asy'ari dan Mathuridi serta fiqih mazhab Syafi'i.
Demikian penjelasan saya.
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network
0 comments: