Dalam kasus politik dewasa ini, turut sertanya sebagian besar kaum Muslim dalam perpolitikan di Indonesia memang tidak serta merta ingin menegakkan syari'at Islam, terlepas dari niatan membangun kultur pragmatisme dan fundamentalisme personal itu sendiri. Namun khususnya, umat Islam disana memiliki tujuan untuk proses islamisasi parlemen.
Meskipun belum semua pranata politik belum islami, namun jangan sampai ditinggalkan semuanya. Karena justru akan menyebabkan madhorot yang lebih besar.
Dengan kata lain, kaum Muslim tidak boleh meninggalkan parlemen meskipun pranatanya belum semua islami.
Ini sesuai dengan qaidah ushul fiqh:
1. Al-maisûr lâ tusqâth bi al-ma‘sûr
(Sesuatu yang mudah tidak bisa dihapuskan dengan sesuatu yang susah).
2. Mâ la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu
(Jika tidak bisa meraih semuanya, jangan tinggalkan semuanya).
Maksud dari kaedah ini adalah, jika Anda tidak bisa mengerjakan sesuatu secara keseluruhan maka jangan Anda meninggalkan seluruhnya. Konteks pembicaraan kaidah ini adalah masalah-masalah ibadah sunnah yang telah ditetapkan kuantitasnya yang apabila dikerjakan sebagian tidak mengapa.
Contohnya adalah shalat tahajud. Shalat tahajud lebih utama dikerjakan 12 rakaat. Namun, jika Anda tidak bisa mengerjakan semua (12 rakaat), janganlah tinggalkan semuanya. Anda bisa melaksanakannya walaupun hanya 2 rakaat saja. Yang penting jangan sampai ditinggalkan semuanya, alias tidak mengerjakannya sama sekali.
Adapun perkara-perkara wajib yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. tidak boleh ditinggalkan seluruhnya, atau dikerjakan sebagian-sebagian dengan alasan belum bisa dikerjakan semuanya. Contohnya, jika Anda belum bisa mengerjakan shalat lima waktu secara sempurna, Anda bisa mengerjakan dua atau tiga waktu saja. Kesimpulan semacam ini adalah kesimpulan salah akibat menggunakan kaidah ini tidak pada tempatnya.
Akibatnya, ada sebagian kaum Muslim menyatakan bahwa menegakkan syariat Islam bisa dilakukan dengan cara berangsur-angsur. Padahal, penerapan syariat Islam harus dilakukan secara serentak dan dilakukan dengan cara melakukan perubahan secara revolusioner dan mendasar, bukan dengan cara berangsur-angsur.
Jadi, jangan terlalu mudah dalam menggunakan kaidah untuk membenarkan sebuah aktivitas, apalgi terkait dengan masalah dakwah dan umat.
Politik merupakan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang salah satunya berwujud pembuatan keputusan dalam sebuah wilayah. Bisa dikatakan bahwa politik untuk mengatur keadaan masyakat didalam suatu negara. Oleh karena itu negara memiliki sebuah undang-undang yang fungsianya sebagai controlling mayarakat.
Dengan fungsi itu, maka tak jarang para pelaku politik (politikus) mengiginkan sebuah kekuasan/posisi di wilayahnya, dimana dengan kekuasaan itu, dia mampu membuat keputusan sesuai dengan hasil pikiran sang pemimpin.
Kekuasaan itu sangatlah penting.
Kalau kita lihat sebelum khilafah di jatuhkan dahulu - terakhir khilafah bani turki usmani - mereka berjaya dengan sistem khilafah saat itu, akan tetapi yang mengusai saat ini adalah orang-orang luar islam (kafir) maka dirubahlah dengan sistem demokrasi barat. Dan disinilah pentingnya kita berpolitik yang tujuannya untuk merebut kekuasan yang dipegang oleh orang kafir.
Dan saat ini sudah terasa keganjilan-keganjilan undang-undang yang tak hanya terjadi di Indonesia. Kalau kita berikan kekusaaan ini kepada mereka (kafir), tentunya mereka akan membuat undang-udang yang tidak sesuai dengan identitas umat islam, ini sangat berbahaya sekali.
Contoh kasus, di berbagai negara di Eropa seperti Prancis dan Jerman sudah diberlakukan undang-undang anti jilbab. Dan jilbab menurut Islam itu wajib bagi muslimah. Dan hal ini tentunya diprotes keras oleh umat Islam disana.
Maka dari itu, jangan skeptik dan pragmatis terhadap perpolitikan. Umat Islam, khususnya saya pribadi pun sangat mendukung sistem khilafah itu tegak. Namun itu takkan pernah terjadi bila tak dimulai sekarang, saat ini, dengan jalan berpolitik (berpartai)
Wallohu a'lam.
0 comments: