October 9, 2012

Syiah di Indonesia Semakin Menggurita Aqidah


oleh: Tiar Anwar Bachtiar dan Yudi Rachman

Ternyata Indonesia telah menjadi sasaran empuk dan lahan subur bagi bagi tumbuh berkembangnya aliran-aliran yang menyatakan dirinya bagian dari Islam, namun tidak menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai rujukan ajarannya. Setelah sebelumnya kita disibukkan dengan berkembangnya aliran Ahmadiyah, Islam Liberal, dan yang lainnya, sekarang kita dibuat terkesima dengan 'keberanian' tampil kelompok ahlul bait. Nama samaran untuk kelompok yang berpaham Syiah. 

Seperti pada bulan lalu (2-4 April 2010), tanpa adanya publikasi yang meriah, mereka mengadakan acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) Ahlul Bait di Asrama Haji Pondok Gede. Untungnya, kegiatan ini sempat terendus oleh kelompok Islam. Sehingga sebelum acara dimulai sempat terjadi perbincangan alot tentang legal dan illegal acara tersebut, karena berdasarkan informasi yang didapat dari mabes polri, mereka belum mendapatkan izin. Pihak pengelola gedung pun tidak mendapatkan kabar tentang adanya acara tersebut. Namun anehnya, walaupun diawali dengan sedikit perdebatan, acara tersebut tetap berjalan sampai akhir. Pendekatan apa yang telah mereka lakukan, sehingga mabes polri luluh juga dan memberikan izin kepada mereka. Apabila menggunakan cara manipulasi, lobby, berdusta dan kamuflase-kamuflase lainnya, sudah biasa mereka lakukan itu. Bahkan segala cara bisa mereka tempuh untuk meraih maksud yang diinginkan.

Ada tiga hal yang perlu dicatat dari kegagalan meyakinkan Mabes Polri bahwa Syiah ini aliran yang berbahaya. Pertama, banyak dari kalangan umat Islam, terutama yang terlibat dalam birokrat pemerintahan tidak mengetahui lebih dalam bahaya Syiah. Bahkan banyak yang beranggapan Syiah itu seperti halnya perbedaan antara NU dangan Muhammadiyah. Beda paham saja. Kedua, membuktikan bahwa Syiah sudah mulai menguat di Indonesia. Karena jika secara kuantitas mereka masih sedikit, mereka tidak mungkin berani tampil di muka umum. Ketiga, proses kaderisasi yang mereka lakukan sudah cukup berhasil dan kader-kader mereka sudah tersebar di birokrat pemerintah. Bagaimana sesungguhnya konstelasi Syiah di Indonesia sekarang. Inilah yang akan kita ulas saat dalam tulisan ini. Namun sebelumnya, ada baiknya diperkenalkan terlebih dahulu sosok Syiah dan perbedaannya secara mendasar dengan Islam.

Syiah dan Islam
Belakangan banyak cendekiawan Muslim di Indonesia yang mencoba untuk melakukan taqrîb (rekonsiliasi) Sunnah dan Syiah agar bisa hidup berdampingan. Salah satunya Quraish Shihab. Rekonsiliasi ini dilakukannya secara fundamental, yaitu melalui rekonsiliasi pemikiran. Idenya ini diwujudkan sejak ia menulis Tafsir Al-Misbah. Dalam Tafsir-nya, ia mengutip sekaligus tafsir-tafsir Syiah dan tafsir-tafsir Sunni kontemporer: Husein Thabaththaba'i (Tafsîr Al-Mizan-Syiah), Thahir ibn Asyur (Al-Tahrîr wa Al-Tanwîr-Sunni), dan ideolog gerakan Ikhwanul Muslimin Sayyid Quthb (Tafsîr fî Zhilâl Al-Quran). Selain Thabaththaba'i, Quraish pun sering mengutip pendapat ulama Syiah Murtadha Muthahhari.

Secara eksplisit, ide ini dijelaskan landasan argumentasinya dalam bukunya Sunnah-Syiah Bergandeng Tangan! Mungkinkah?. Sekuat tenaga, Quraish ingin mengatakan bahwa doktrin-doktrin Syi'ah yang sering dipermasalahkan seperti dalam hal rukun iman, rukun Islam, imamah, taqiyyah, bada', raj'ah, dan sebagainya hanyalah masalah khilafiyah. Sama seperti masalah-masalah khilafiyah yang sering diributkan NU dan Muhammadiyah. Jadi, perbedaan Sunni-Syiah bersifat furû'iyyah. 

Pemikiran seperti ini rupanya bukan hanya dianut Quraish Shihab. Tokoh sekaliber Yusuf Qardhawi pun berpandangan sama. Bahkan, beliau sampai mendirikan Majelis Ulama Islam Internasional yang diketuainya. Ia mengangkat wakilnya dari kalangan Syiah untuk mewujudkan misinya melakukan taqrîb antara Sunni dan Syiah. Namun rupanya, usaha Qardhawi sia-sia. Lembaga yang didirikannya sejak awal sudah mendapat kecaman, namun tidak digubris hingga Qardhawi marasakan sendiri akibat dari pilihannya. Ia dikhianati oleh kelompok Syiah yang sengaja ia rekrut. Namanya bahkan banyak dicatut untuk keuntungan Syiah. Proyek taqrîb-nya pun gagal total.

Memang sampai hari ini, kalau bukan dalam hal-hal yang sifatnya mu'amalah biasa, belum pernah terjadi rekonsiliasi Sunni-Syiah. Sebab, kalau ditelusuri secara jujur dan mendasar, sejak dari doktrin dasar akidah (kepercayaan) Sunnah dan Syiah tidak pernah ketemu. Perbedaannya sangat jelas bukan sekadar perbedaan furû'iyyah belaka, melainkan sudah perbedaan ushûliyyah. Memang ada satu alirah Syiah, yaitu Zaidiyyah yang secara ushûli dekat dengan Sunni. Namun, jumlah pengikutnya sudah tidak signifikan. Hanya kelompok minoritas kecil di Yaman. Secara umum Syiah yang ada saat ini adalah Syiah Imamiyah-Itsna Asyariyah-Ja'fariyah yang secara akidah banyak pertentangannya dengan Sunni (baca: Islam).

Bila dijelaskan tentu saja akan sangat panjang. Namun secara ringkas perbedaan Sunni-Syiah dapatdilihat dalam bagan berikut.

No.
Perihal
Ahlus-Sunnah
Syiah
1
Rukun Islam
  • 1. Syahadatain
  • 2. Shalat
  • 3. Puasa
  • 4. Zakat
  • 5. Haji
  • 1. Shalat
  • 2. Puasa
  • 3. Zakat
  • 4. Haji
•5.   Wilâyah
2
Rukun Iman
  • 1. Iman kepada Allah
  • 2. Iman kepada Malaikat
  • 3. Iman kepada Kitab
  • 4. Iman kepada Rasul
  • 5. Iman kepada Taqdir
  • 6. Iman kepada Hari Akhir
  • 1. Tauhid
  • 2. Nubuwwah
  • 3. Imamah
  • 4. Al-'Adl
  • 5. Al-Ma'ad

3
Syahadat
Dua Kalimat
Tiga Kalimat (ditambah menyebut 12 Imam)
4
Imam
Percaya kepada imam bukan rukun iman.
Percaya pada imam merupakan rukun iman.
5
Khilafah
Khulafa'ur-Rasyidin adalah khilafah yang sah.
Selain Ali r.a. kekhalifahannya tidak sah.
6
Ma'shûm
Khalifah (imam) tidak ma'shûm
Para imam yang 12 ma'shûm
7
Sahabat
Dilarang mencaci semua sahabat
Mencaci banyak sahabat dan menganggap banyak sahabat yang murtad
8
Istri Rasul
  • 1. Aisyah sangat dihormati
  • 2. Semua istri rasul adalah Ahlul-Bait
  • 1. Aisyah dicaci-maki
  • 2. Para istri Rasul bukan Ahlul-Bait
9
Al-Quran
Tetap orisinil
Sudah diubah oleh para sahabat
10
Hadis
Menggunakan kutubus-sittah dan kitab hadis mu'tabar yang lain.
Hanya mau menggunakan hadis versi Syiah dalam 4 kitab pokok mereka: Al-Kâfi, Al-Istibshâr, Man Lâ Yadûruhu Al-Faqîh, dan Al-Tahdzîb.
11
Surga dan Neraka
Surga untuk mereka yang taat pada Rasul dan neraka buat mereka yang ingkar.
Surga untuk mereka yang cinta pada Imam Ali dan neraka untuk yang memusuhinya.
12
Raj'ah (inkarnasi)
Tidak ada akidah raj'ah
Meyakini adanya raj'ah
13
Imam Mahdi
Imam Mahdi adalah sosok yang akan membawa keadilan dan kedamaian.
Imam Mahdi kelak akan membangunkan Rasulullah, Imam Ali, Fatimah, dan Ahlul-Bait yang lain. Selanjutnya membangunkan Abu Bakar, Umar, dan Aisyah untuk kemudian ketiga orang ini disiksa.
14
Nikah Mut'ah
Haram
Halal dan dianjurkan
15
Khamr
Tidak suci/najis
Suci
16
Shalat
  • 1. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sunnah
  • 2. Membaca "amin" sunnah
  • 3. Shalat Dhuha sunat.
  • 1. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri membatalkan shalat
  • 2. Membaca "amin" membatalkan shalat
  • 3. Shalat Dhuha tidak dibenarkan.
Sumber: Buku Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwwah

Perbadaan yang paling prinsip terdapat pada bagian 1-14. Perbedaan pada bagian selanjutnya hanyalah contoh perbedaan dalam hal amaliah ibadah yang jumlahnya tentu akan lebih banyak lagi dari contoh di atas. Kalau melihat hal ini, jelas Syiah dan Sunni sangat sulit untuk dicari titik temunya secara ajaran karena memang sudah sejak masalah akidah berseberangan. Itulah jati diri Syiah yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan banyak ulama yang menganggap Syiah, terutama sekte Imamiyah-Itsna Asyariah yang sekarang dianut mayoritas Syiah di dunia seperti di Iran sebagai bukan Islam.

Salah satu amalan khas Syiah yang juga banyak dipraktikkan di Indonesia adalah perayaan 10 Muharram (Hari Asyura). Kami sempat mewawancarai seorang mantan mahasiswa yang pernah studi di Pakistan. Tanpa sengaja, si mahasiswa ini mendapatkan kesempatan untuk mengikuti acara 10 Muharram di Pakistan. Sebuah acara ritual sakral bagi kalangan Syiah. Tanpa mengalami kesulitan si mahasiswa ini bisa memasuki sebuah ruangan yang akan menjadi ritualitas itu berlangsung. Ratusan orang sudah berkumpul di tempat tersebut, dari anak-anak sampai dewasa. Laki-laki dan perempuan. Apa yang dilihat si mahasiswa berikutnya akan menjadi pengalaman berharga yang tidak mungkin terlupakan. Karena si mahasiswa ini menyaksikan beberapa ritual yang menurutnya sudah sangat tidak masuk akal.

Salat satu hal ekstrem yang terlihat adalah pemujaan kepada seekor kuda yang diyakini sebgai kuda yang pernah ditunggangi Imam Husein bin Abi Tholib. Padahal, jelas-jelas kuda tersebut adalah kuda biasa yang dihias dengan beberapa atribut saja. Meskipun mereka mengetahui bahwa kuda tersebut adalah kuda biasa, bukan kuda yang sebenarnya ditumpangi Imam Husein, namun mereka tetap khusyu' dan sungguh-sungguh melakukan ritual.

Selain kepada kuda, mereka melakukan hal yang sama pula kepada replika makam Imam Husein. Replika makam yang terbuat dari bahan-bahan sederhana ini digotong-gotong, kemudian orang-orang berebutan sambil berdesak-desakan agar bisa  mengusap-usap bagian makam. Nah, pada puncak acara dilakukan ritual penyiksaan diri. Ini semakin membuat si mahasiswa geleng-geleng kepala. Dengan keyakinan ingin mendapatkan pahala dari merasakan penderitaan yang pernah dialami Imam Husein di Karbala mereka dengan sukarela menyakiti tubuh mereka dengan berbegai senjata tajam. Darah atau luka pada tubuh diyakini akan menjadi kebaikan buat mereka. Tidak hanya orang dewasa yang melakukan itu, remaja bahkan anak-anak juga ikut serta.

Dari pagi sampai menjelang malam acara itu berlangsung. Tidak ada semenit pun jeda untuk istirahat atau sholat. Tiga waktu sholat yang dipahami mereka pun dilewati. Karena ritual setiap 10 Muharram, mereka anggap jauh lebih penting dibandingkan melaksanakan sholat. Ternyata, menurut si mahasiswa yang sekarang menjadi dosen salah satu PTAI di Jakara ini dan mayoritas keluarganya Syiah, dalam keseharian mereka juga tidak mempedulikan sholat. Bagi mereka, katanya, yang penting berdzikir, dengan dzikir yang dipahami mereka tentunya.

Masih menurut si mahasiswa, untuk membedakan Syiah dan bukan bisa diperhatikan saat sholat. Orang Syiah ketika sholat mereka akan membawa alas sujud, yang disebut dengan batu karbala. Batu ini memang betul-betul dari Karbala. Karena menurut mereka apabila bersujud di atas karpet atau alas lain, sholatnya batal alias tidak sah. Makanya jika mereka tidak membawa atau tertinggal, mereka selalu mempersiapkan secarik kertas untuk menggantikan fungsi batu karbala. Jika pemahaman seperti itu, berarti sholat yang kita kerjakan, termasuk umat Islam yang sholat di masjidil haram, semuanta batal.

Demikianlah kesesatan yang dilakukan kaum Syiah. Apakah perbedaan-perbedaan tersebut dapat disatukan? Dari beberapa pengalaman yang coba diusahakan ulama-ulama besar, sepertinya persatuan itu sangat sulit terjadi, bahkan nyaris mustahil.

Syiah di Indonesia
Sejarawan Yousuf Syou'b mensinyalir bahwa Syiah sudah datang ke Indonesia sejak masa awal kedatangan Islam. Namun perkembangannya tidak terlalu pesat dan tidak diterima baik oleh penduduk di negeri ini. Oleh sebab itu, sampai akhir abad ke-20 Syiah tidak dikenal dan tidak terlacak peran sejarahnya yang signifikan di negeri ini, sekalipun bukan berarti tidak ada penganut sama sekali.

Mulai diterimanya Syiah di Indonesia umumnya dapat dilacak sejak terjadi Revolusi Syiah Iran tahun 1979. Revolusi Iran menginspirasi umat Islam bahwa mereka dapat bangkit dari keterpurukannya di hadapan negara-negara Barat. Revolusi Iran memberikan semangat baru kebangkitan umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia.

Semangat Revolusi Iran inilah yang kemudian membuat beberapa inetelektual muda Indonesia tertarik mempelajari buku-buku dan tulisan ekponen Revolusi Iran seperti Khumaini dan Ali Syari'ati. Tidak cukup hanya membaca dalam bahasa aslinya, beberapa di antaranya mulai tertarik untuk menerjemahkan dan menerbitkannya dalam bahasa Indonesia. Ternyata respon dari masyarakat pun umumnya cukup baik, terutama terhadap pikiran-pikiran revolusioner yang memprovokasi kesadaran untuk memberontak pada tatanan yang mapan.

Situasi ini cukup dimaklumi mengingat tahun 80-an adalah tahun Suharto sedang bertindak sangat represif terhadap umat Islam. Peristiwa-peristiwa penting seperti UU Subversi, Asas Tunggal, Peristiwa Tanjung Priuk, dan tindakan represif lainnya terjadi sepajang tahun 1980-an. Sitausi inilah yang membuat anak-anak muda Muslim merasa mendapatkan dorongan semangat dan amunisi untuk melakukan perlawanan terhadap tirani setelah membaca buku-buku revolusioner semacam tulisan Ali Syari'ati.

Saat itu barangkali umat Islam Indonesia yang tentu saja umumnya menganut paham Ahlus-Sunnah tidak terlalu mempedulikan apakah yang dibacanya ini Syiah atau apa. Lagi pula isi dari tulisan-tulisan Ali Syari'ati yang dipublikasikan bukan berkaitan dengn ajaran-ajaran Syiah. Oleh sebab itu, kaum Muslim Indonesia saat itu tidak terlalu mempersoalkan kepercayaan yang dianut penulis-penulis revolusioner seperti Syari'ati.

Hanya saja, situasi ini ternyata tidak disia-siakan oleh orang-orang Syiah. Segera saja, melalui pintu ini mereka mulai memasukkan ide-ide Syiah secara utuh di kalangan anak-anak muda Muslim. Mula-mula tentu saja tidak vulgar mendagangkan Syiah. Mereka sadar betul bahwa mereka harus melakukan strategi yang halus memasukkan paham mereka ke negeri ini. Mereka bungkus ajaran-ajaran mereka dengan hal-hal yang tidak kontroversial, namun mengena.

Pada umumnya modus yang dilakukan adalah dengan mendirikan yayasan-yayasan sosial. Mereka bantu orang-orang miskin dan dhu'afa untuk mengambil hati mereka. Mereka bungkus semua kegiatannya dengan bahasa "pembelaan terhadap kaum tertindas". Cara-cara ini mirip seperti yang dilakukan kalangan missionaris.

Kalangan miskin bukan sasaran utama yang mereka bidik. Justru yang menjadi sasaran utama adalah kaum inetelektual. Kalangan inilah yang sejak awal justru dapat menerima syiah melalui pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh recolusionernya seperti Ali Syari'ati. Melalui buku-buku inilah, Syiah dapat menarik mahasiswa-mahasiswa cerdas untuk ikut menjadi bagian dari barisannya. Pendekatannya melalui kajian-kajian pemikiran dan filsafat yang banyak diminati mahasiswa. Kalaupun mereka tidak benar-benar menjadi Syiah, pendekatan ini efektif untuk mempengaruhi banyak intelektual Sunni agar menganggap Syiah ini bukan masalah bagi mereka. Dengan cara itu, mereka yang ber-Syiah secara 'kâffah' tidak mendapat tentangan yang berarti. Melalui inetelektual-intelektual Muslim yang terpengaruh pemimikan Syiah inilah, kelompok Siah Imamiyah ini dapat meyakinkan kelompok mayoritas Sunni di Indonesia agar dapat menerima ajaran dan keberadaan mereka.

Diakui atau tidak, mereka cukup cerdas dalam menggunakan strategi, kalau tidak dikatakan licik. Karena banyak di kalangan umat Islam termasuk yang sudah terdidik, bahkan ulama yang terjebak pada permainan atau kamuflase wacana yang mereka gulirkan. Sehingga mereka berhasil mengarahkan umat Islam untuk berkesimpulan bahwa Syiah itu bagian dari Islam, Syiah itu tidak berbahaya, bahkan tidak sedikit ulama yang berpandangan bahwa Syiah yang ada di Indonesia itu Syiah intelektual atau tasawuf, bukan ideologis seperti yang ada di beberapa negara Timur Tengah. Padahal, apapun kata sifat yang disematkan pada mereka apakah Syiah Ideologis, Syiah Gerakan, Syiah intelektual, dan Syiah-syiah lainnya, semuanya sama. Mereka sesat. Karena macam-macam Syiah itu merujuk kepada rujukan yang satu.

Saat ini, setelah lebih dari tiga dekade berjuang menyebarluaskan Syiah di Indonesia, hasilnya sudah bisa mereka nikmati sekarang. Lebih dari 200 lembaga dan yayasan Syiah berdiri di berbagai kota (sebagiannya lihat Box). Mereka sudah mulai leluasa menyebarkan kepercayaannya secara terang-terangan. Tokoh sekaliber Quraish Shihab dan Haidar Bagir pun selalu melindungi kepentingan mereka sekalipun keduanya bukan jamaah Syiah kâffah. 

Organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan NU tidak luput pula dari bidikan mereka untuk mengamankan kepentingan mereka. Sekalipun sudah menjadi tradisi bagi NU yang mendeklarasikan diri sebagai pembela akidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah meng-counter berbagai pemikiran Syiah, namun Gus Dur dan Said Agil Siraj yang kini menjabat ketua umum PBNU tampaknya sangat wellcome terhadap keberadaan Syiah di Indonesia. Keduanya bahkan sangat sering diundang mengisi acara-acara diskusi mereka.

Di Muhammadiyah kelompok Syiah ini mulai berhasil menyusup melalui pendirian Iranian Corner di beberapa universitas besar milik Muhammadiyah seperti UMJ, UMY, UAD, dan UMM. Memang kelihatannya lembaga seperti Iranian Corner ini hanya sebatas lembaga penelitian biasa. Namun justru melalui pintu inilah kader-kader Syiah banyak yang disusupkan  ke dalam tubuh Persyarikatan. Gejalanya sudah semakin nyata. Banyak generasi muda Muhammadiyah yang mulai terpengaruh ajaran Syiah.

Di pemerintahan pun sudah mulai banyak kader-kader Syiah yang menduduki posisi-posisi penting. Keberhasilan mereka mengamankan Silatnas Ahlul Bait Indonesia V di Pondok Gede kemarin adalah bukti bahwa jaringan mereka di jajaran kekuasaan cukup solid. Salah satunya terlihat Sayuti Asatri yang menjadi moderator diskusi pada acara Silatnas kemarin. Ia adalah politisi senior di Partai Amanat Nasional yang didirikan mantan ketua umum PP Muhammadiyah Amin Rais. Posisinya sebagai anggota DPR-RI tentu sangat strategis untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan di negeri ini.

Alhasil, kelihatannya gerakan Syiah di Indonesia saat ini sudah tidak bisa dianggap kecil lagi. Kalau ini tidak pernah diketahui publik, suatu saat Syiah di Indonesia tidak mustahil akan menjadi besar. Kalau ini sudah terjadi, seperti pengalaman di berbagai negeri Muslim lain yang mengakomodasi keberadaan Syiah, tidak mustahil pula akan terjadi konflik-konflik yang sampai berujung pada kekerasan. Hal semacam ini tidak bisa dihindarkan mengingat dasar ajaran mereka memang menyimpan permusuhan dan kebencian yang sangat besar terhadap Ahlus-Sunnah. Bahkan kebencian kepada Ahlus-Sunnah ini lebih besar dibandingkan kebencian kepada Yahudi dan Nashrani. Masihkan kita akan berdiam diri?

Diambil dari situs resmi Persatuan Islam

0 comments: