Janji gombal politis yang menjadi omong kosong pemilu bersandar di tiga kepentingan pokok masyarakat antara lain, pendidikan, kesehatan dan eknomi. Ketiga bidang penting itu nyaris keluar dari semua mulut para politikus yang maju diperhelatan Pemilihan Legeslatif. Janji manisnya serupa, untuk meciptakan Pendidikan dan layanan kesehatan bagi semua masyarakat, serta menciptakan lapangan kerja yang seimbang dalam rangka meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) masyarakat.
Alih-alih janji politik itu terealisasi, kenyataanya masyarakat tetap susah dalam memenuhi kebutuhan pokok yang diamanatkan Undang-undang 1945 sebagai tugas Negara secara utuh. Caleg yang jadi sibuk dengan kepentingannya sendiri, sementara caleg yang tidak jadi sibuk dengan tudingan curang dan meraih simpati masyarakat. Para capres yang mencalonkanpun sama, selalu diawali dengan janji manis dan pada akhirnya masyarakat selalu menjadi kambing hitamnya. Mereka, kami tetap bekerja keras demi sesuap nasi untuk kebutuhan hidupnya.
Lalu, dimana letak kepentingan rakyat yang abadi sebenarnya. Jelas tidak ada dan rakyat tetap saja diapaksa kerja rodi demi mempertahankan roda kehidupan.
Menilik pada janji politik pendidikan gratis, tentu saja hal mustahil bisa dilaksanakan jika tergantung pada anggaran yang ada. Program ini, bukan kali sekarang saja berdengung karena sudah lama dikumandangkan sejak rezim-rezim pemerintahan terdahulu berkuasa. Buktinya, rakyat masih saja tercekik dengan biaya pendidikan yang melangit. Kondisi ini karena, anggaran pendidikan yang seharusnya sampai pada penerima, tersumbat prilaku korupsi pejabat dan wakil rakyat itu sendiri. Alhasil, pendidikan tetap berbayar dan program sekolah gratis hanya kupasan program kerja usang para elit diatas. Meski tidak bisa dipungkiri, anggaran gratis itu ada namun komersialisasi pendidikan tetap tinggi. Pendidikan dewasa ini hanya barang mahal yang hanya mampu bagi mereka yang berharta.
Bila dibandingkan dengan jaman penjajahan, program pendidikan lebih terbilang berhasil dan menciptakan tokoh-tokoh bangsa yang berkualitas. Waktu itu baik era Kartini maupun budi oetomo bersusah payah mengentaskan kebodohan tanpa pamrih. Sekolah rakyat benar-benar gratis sehingga masyarakat antusias dan mau belajar. Saat ini, disaat justru Negara telah merdeka, pendidikan menjadi mahal. Inilah yang membuat aneh, apakah Negara yang salah atau pelaku kebijakan yang tidak becus menghasilkan pemikiran seperti pejuang pendidikan jaman penjajahan.
Merealisasikan pendidikan gratis, harusnya bukan hanya program dan janji politik basi melainkan kemauan para elit poltik dan pemerintah untuk jujur dan mau memberikan hak rakyat itu secara cuma-cuma tanpa embel-embel lainnya.
Dibidang kesehatan, meski pemerintah dan para elit politik sepakat menggelontorkan anggaran triliunan rupiah untuk Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jemkesmas), tetap saja pelaksana program itu masih karut marut. Rakyat kecil terkadang harus gigit jari saat hendak berobat dan anggaran Jamkesmas tidak ada. Ironisnya, untuk mendapatkan kartu itu birokrasinya berbelit dan terkadang mengungtungkan oknum pekerja rendahan. Sehingga, kesehatan gratis bagi warga miskin tetap saja muatan politik yang tidak terbukti secara nyata.
Setidaknya dua faktor itu menggambarkan, kalau pemilu hanya sebuah proses yang tidak menghasilkan keburuntungan bagi rakyat kecil selain omong kosong kerakyatan tadi. Kerakyatan seperti apa, jika para calon wakil rakyat saja duduk dari hasil pembelian suara haram yang diperdagangkan oknum penyelenggara. Sudahlah, apapun bentuknya pemilu tetap hanya milik kaum kapitalis yang haus jabatan wakil rakyat demi gengsi semata.
Indonesia oh Indonesia... Mari kita #selamatkanIndonesia.
Menilik pada janji politik pendidikan gratis, tentu saja hal mustahil bisa dilaksanakan jika tergantung pada anggaran yang ada. Program ini, bukan kali sekarang saja berdengung karena sudah lama dikumandangkan sejak rezim-rezim pemerintahan terdahulu berkuasa. Buktinya, rakyat masih saja tercekik dengan biaya pendidikan yang melangit. Kondisi ini karena, anggaran pendidikan yang seharusnya sampai pada penerima, tersumbat prilaku korupsi pejabat dan wakil rakyat itu sendiri. Alhasil, pendidikan tetap berbayar dan program sekolah gratis hanya kupasan program kerja usang para elit diatas. Meski tidak bisa dipungkiri, anggaran gratis itu ada namun komersialisasi pendidikan tetap tinggi. Pendidikan dewasa ini hanya barang mahal yang hanya mampu bagi mereka yang berharta.
Bila dibandingkan dengan jaman penjajahan, program pendidikan lebih terbilang berhasil dan menciptakan tokoh-tokoh bangsa yang berkualitas. Waktu itu baik era Kartini maupun budi oetomo bersusah payah mengentaskan kebodohan tanpa pamrih. Sekolah rakyat benar-benar gratis sehingga masyarakat antusias dan mau belajar. Saat ini, disaat justru Negara telah merdeka, pendidikan menjadi mahal. Inilah yang membuat aneh, apakah Negara yang salah atau pelaku kebijakan yang tidak becus menghasilkan pemikiran seperti pejuang pendidikan jaman penjajahan.
Merealisasikan pendidikan gratis, harusnya bukan hanya program dan janji politik basi melainkan kemauan para elit poltik dan pemerintah untuk jujur dan mau memberikan hak rakyat itu secara cuma-cuma tanpa embel-embel lainnya.
Dibidang kesehatan, meski pemerintah dan para elit politik sepakat menggelontorkan anggaran triliunan rupiah untuk Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jemkesmas), tetap saja pelaksana program itu masih karut marut. Rakyat kecil terkadang harus gigit jari saat hendak berobat dan anggaran Jamkesmas tidak ada. Ironisnya, untuk mendapatkan kartu itu birokrasinya berbelit dan terkadang mengungtungkan oknum pekerja rendahan. Sehingga, kesehatan gratis bagi warga miskin tetap saja muatan politik yang tidak terbukti secara nyata.
Setidaknya dua faktor itu menggambarkan, kalau pemilu hanya sebuah proses yang tidak menghasilkan keburuntungan bagi rakyat kecil selain omong kosong kerakyatan tadi. Kerakyatan seperti apa, jika para calon wakil rakyat saja duduk dari hasil pembelian suara haram yang diperdagangkan oknum penyelenggara. Sudahlah, apapun bentuknya pemilu tetap hanya milik kaum kapitalis yang haus jabatan wakil rakyat demi gengsi semata.
Indonesia oh Indonesia... Mari kita #selamatkanIndonesia.
0 comments: