December 26, 2013

Selamat jalan, ustadzii...

Aku percaya akan kuasanya sang maha Kuasa. Allah subhanahu wata'ala.
Kuasanya sungguh istimewa dan takkan ada yang bisa menandinginya.
Bergantinya siang dan malam;
Berhembusnya angin segar dan angin mencekam;
Berputarnya waktu tak terhentikan.
Dan keajaiban kuasa dan ciptaan lainnya.
-
Bagiku, guru berperan penting bagi seluruh murid-murid yang diajari olehnya.
Guru laksana lilin yang terus menyala walau menggerogoti dirinya sendiri.
Guru pula sebagai tauladan para muridnya.
Guru itu laksana cahaya didalam kegelapan.
Guru takkan pernah tergantikan.
-
Seburuk apapun ia, ia tetaplah manusia.
Sebaik apapun ia, ia tetaplah manusia.
Manusia bisa lupa;
Manusia bisa ingat;
Manusia kadang salah;
Manusia kadang benar;
Dan yang terpenting, manusia akan berakhir meninggalkan dunia.
-
Ustadzii, wahai guruku. Inilah sepotong tulisan dari dalam hatiku yang mungkin sangatlah singkat untuk menggambarkan cintaku padamu.
Terlalu indah untuk dikatakan puisi, karena ini bukan puisi gombal.
Terlalu lengkap untuk dikatakan biografi, karena aku bukan saksi sejarah lengkapmu.
-
Aku selalu ingat senyum tawamu; candaanmu; murah hatimu; dan perhatiannya padaku.
Itu selalu membuatku tersipu malu untuk menggunjang ganjing perasaanmu.
-
Namun terkadang karena kekanak-kanakanku, aku pernah kesal dan marah padamu.
Kau pernah mengacuhkanku; kau pernah menyakiti perasaanku; kau pernah memarahiku; bahkan kau pernah tak mau berbicara padaku.
-
Aku baru sadar, sikapmu itu selalu memiliki alasan.
Aku baru tahu, marahmu itu bukan karena disengaja.
Kini, di sepanjang waktu baru ku mengetahui, bahwa kau mencintaiku, mencintai murid-muridmu.
Cinta tak harus diungkapkan dengan lemah lembut saja.
Tak perlu hanya dengan pujian saja.
Terkadang itu perlu penghinaan, perlu kesakitan, perlu kerusakan.
Namun bukan untuk dilanjutkan, tapi untuk disadarkan.
-
Kini, kehadiranmu takkan pernah bisa lagi kulihat.
Kini, ragamu takkan pernah lagi kutemui.
Kini, senyum manismu itu takkan kulihat kembali.
Kau telah pergi... :'(
-
Sungguh, terlalu lemah bagiku menahan air mata ini menyaksikan tubuhmu terbujur kaku.
Sungguh, tak sanggup kumelihatmu lemah tak berdaya dihadapanku. Hanya terbaring.
Sungguh, ingin rasanya melihat senyummu kembali walau hanya satu hari.

Satu jam. Satu menit saja, ya Allah...
Tapi kutahu, itu mustahil terjadi.
-
Ku mandikan ragamu yang kaku.
Ku kubersihkan tangan kakimu.
Ku usap keningmu untuk terakhir kalinya.
Dan kubisikkan ditelingamu, selamat jalan, ustadzii...
-
Engkau sudah wangi.
Engkau sudah siap.
Mari berangkat ke pengistirahatan terakhirmu, tempat istirahat semua.
Bukan rumah beratap emas.
Bukan lantai bertahtakan berlian.
Namun sebidang tanah tanpa alas. Hanya tanah.
-
Ku do'akan semoga Munkar Nakir tidak mengagetkanmu menjawab seluruh pertanyaannya.
Semoga Engkau mudah menjawabnya.
Semoga do'a kami disini - orang yang menyayangimu - bisa membantumu melewati alam qubr dengan baik.
-
Kini, disini, di pesantren ini, kami memang kehilanganmu.
Namun itu hanyalah ragamu. Bukan memori tentangmu.
Namamu kan kukenang selamanya. Kan kuingat selamanya.
Hingga Allah pun mengambil ingatan dan nyawaku.
Salam hangat dari anandamu, Rasyid. Untukmu ustadzii, Deni Hamdani.
-
Ditulis: 26 Desember 2013 pukul 22:45

0 comments: