March 14, 2012

Beda antara Bid’ah dan Maslahah Mursalah




Shahabat Jabir bin Abdillah menceritakan, suatu saat Rasulullah saw berkhutbah di hadapan orang banyak. Kedua matanya merah, suaranya keras, dan nadanya tinggi, menandakan beliau sangat marah, seolah-olah seorang panglima perang yang akan memberangkatkan pasukannya. Seraya bersabda,
اَمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ خَيْرَ اْلحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ اْلهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلُّ بِدْعَةٌ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم)
“Amma Ba’du, Ingatlah sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah (Al-Quran), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (Hadits), dan sejelek-jeleknya urusan adalah perbuatan bid’ah, setiap bid’ah itu sesat. (HR. Muslim, kitab Jum’ah)


Pada kesempatan lain, Rosulullah saw bersabda, “Aku wasiatkan kepada kamu agar bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat kepada pemimpin sekalipun itu seorang Habsyi, maka sesungguhnya siapa di antaramu yang masih hidup setelah aku tiada, kemudian ia melihat banyak perselisihan, maka hendaklah ia pegang teguh sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk Genggamlah sunnahku, peganglah dengan kuat, jangan dilepaskan”. Selanjutnya sabda beliau,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ, فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٌ ضَلاَلَةٌ (رواه احمد)
“Hati-hatilah terhadap perkara-perkara yang baru, karena setiap yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat”. (HR Ahmad)

Bid’ah menurut bahasa adalah, setiap amal yang tidak ada contoh sebelumnya. Menurut Imam An-Nawawi, hukum bid’ah itu ada lima sesuai dengan jumlah hukum syara’ yang lima; (1) Bid’ah wajibah, contohnya menyusun kaidah-kaidah untuk melawan dan membantah alasan orang-orang yang merusak Islam. (2) Bid’ah mandubah, misalnya menyusun kitab dan mendirikan madrasah. (3) Bid’ah mubahah, seperti menciptakan macam-macam makanan. Adapun no (4) dan (5) Bid’ah haram dan makruh, adalah bid’ah pada ‘aqidah dan ibadah. Bid’ah dalam ‘aqidah itu disebut juga syirik, seperti tashawwur (menggambarkan rupa) dan tafakkur (memikirkan keberadaan Allah) tentang Allah. Sedangkan pada ibadah tetap disebut bid’ah.
Ulama ushul membagi dua bagian dari perbuatan-perbuatan yang tidak terjadi di zaman Rosulullah Saw; maslahah mursalah dan bid’ah. Maslahah Mursalah ialah kemaslahatan yang tidak disyari’atkan dalam bentuk hukum, karena tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan, tetapi perbuatan itu sangat diperlukan dalam rangka menciptakan kemaslahatan.
Misalnya tindakan yang dilakukan para shahabat pada zaman kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq tentang membukukan al-Quran. Saat Umar bin Khaththab r.a. mengusulkan menjadikan al-Quran dalam satu mushaf, Abu Bakar r.a. menolak usul tersebut dengan alas an tidak ada perintah dari Rosulullah Saw, beliau takut berbuat bid’ah. Tetapi Umar tetap pada pendiriannya, karena menurutnya itu bukan perbuatan bid’ah, mengingat antara lain;  (1) Ummat Islam akan semakin banyak dan tidak hanya dipeluk orang-orang Arab. (2) Banyak sahabat penghafal Quran  yang gugur dalam pertempuran Yamamah. (3) Para penghafal Quran semakin berkurang dan tidak berbanding dengan jumlah kaum Muslimin. (4) Adanya isyarat dari Rosulullah Saw bahwa beliau sudah menyuruh menulis Quran. Setelah melalui diskusi yang sengit, pada akhirnya Abu Bakar r.a. setuju dan membentuk tasykil penulisan al-Quran yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit. Contoh lain adalah pendirian rumah sakit, panti asuhan, dan adzan menggunakan pengeras suara.
Pada zaman Rosulullah Saw sudah ada upaya mengeraskan suara agar adzan terdengar ke masyarakat. Sebagaimana dilakukan oleh Bilal, muadzin Rosulullah Saw yang meliku-likukan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Berbeda dengan bedug yang dipukul (dibunyikan) sebelum adzan, sebab zaman Rosulullah Saw mungkin dapat dibuat dari kulit sapi atau unta.
Sedangkan yang disebut bid’ah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam as-Syatibiy, “Ungkapan dari suatu cara dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai syariat. Dikerjakan amal itu dengan maksud ingin mencapai maksimalitas (mencari nilai lebih) dalam beribadah kepada Allah Swt”. Atau “Bid’ah itu adalah suatu urusan yang baru dalam agama; berupa ‘aqidah, ibadah, atau cara ibadah yang tidak terjadi pada masa Rosulullah Saw. Lebih jelasnya yang disebut bid’ah itu, membuat cara ibadah yang baru dan menentukan waktunya.
Misalnya, pertama, talafudz bin niyyat (melafadzkan niat) sebelum melakukan shalat. Perbuatan itu baru, artinya tidak terjadi pada zaman Rosulullah Saw, para sahabatnya juga tidak oleh para imam. Perbuatan tersebut menyerupai syariah, tidak dilafadzkan selain dengan bahasa arab. Yang melafadzkan niat tersebut berkeyakinan hal itu termasuk ibadah dan mengharapkan pahala.
Kedua,  perayaan maulid, peringatan isra’ mi’raj, peringatan nuzulul quran. Semua itu tidak dilakukan oleh Rosulullah Saw dan para sahabatnya, juga oleh imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali). Andaikan perbuatan-perbuatan itu baik, tentulah mereka akan mendahului kita dalam pengamalannya. Perayaan dan upacara diatas tidak termasuk maslahah mursalah. Itu termasuk bid’ah, sebab para pelakunya menganggap perbuatan itu ibadah yang akan mendatangkan pahala.
Pernah suatu saat khalifah Umar bin Khattab didatangi seorang Yahudi, katanya, “Ada satu ayat dalam kitab kamu, andaikan ayat itu turun kepada bangsa kami, pasti akan kami jadikan hari turunnya itu sebagai hari raya.” Kata Umar, “Ayat apa itu?” (kemudian si Yahudi itu membacakan ayat ketiga surat Al-Maidah). Kata Umar, “Aku tahu ayat itu, aku pun tahu kapan dan dimana ayat itu diturunkan, yaitu hari Jum’at di ‘Arafah” (Al-Bukhari). Dari riwayat itu kita tahu bahwa Umar r.a. tidak mau melakukan apa yang tidak dilakukan oleh Rosulullah Saw, sekalipun usulan itu nampaknya baik dan ada manfaatnya, tetapi beliau mengerti perbuatan itu bid’ah, dan menyesatkan dan dosanya lebih besar daripada manfaatnya.
Kata Imam Malik bin Anas, “Siapa yang berbuat bid’ah dalam Islam, ia memandang perbuatan itu baik, sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad Saw telah mengkhianati risalah, karena Allah sudah berfirman, ‘Hari ini telah kusempurnakan agamamu...’, maka apa saja yang tidak menjadi agama pada hari itu, niscaya tidak menjadi agama pada hari ini,” Sebab itu kita harus dapat membedakan antara urusan ta’abbudiy dengan urusan keduaniaan.
Padahal yang disebut ibadah itu pada asalnya terlarang, kecuali ada dalil yang menunjukkan perintah atau ada contoh dari Rosulullah Saw. Jika tidak ada perintah dari beliau, maka amal itu ditolak, tidak akan diberi pahala. Bahkan pelakunya harus bertanggung jawab karena telah membuat syari’at yang baru. ‘Aisyah r.ah. berkata:
قال رسول الله ص م : مَنْ اَحْدَثَ فِى اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. البخارى
Rosulullah Saw bersabda, “Siapa yang mengada-ada dalam urusan kami (Islam) yang tidak ada perintah dari kami, maka amal itu pasti ditolak.” (HR Bukhori)
Pada kesempatan lain, Anas r.a. berkata:
قال رسول الله ص م : مَنْ غَشَّ اُمَّتىِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ قِيْلَ يَا رَسُوْلُ اللهِ وَمَا الْغَشُّ؟ قَالَ اَنْ يَبْتَدِعَ بِدْعَةً فَيَعْمَلُ بِـهَا. رواه الذّارقطتنى
Sabda Rosulullah Saw, “Siapa yang menipu ummatku, niscaya ia akan dilaknat Allah, para Malaikat, dan manusia seluruhnya” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud menipu itu ya Rosulullah?” Jawab beliau, “Yang membuat suatu bid’ah dan mengamalkannya”. (HR Adz-Dzaruqutniy)

Perbedaan Maslahah Mursalah dengan Bid’ah
Maslahah Mursalah
1.       Tidak ada motivasi untuk melakukannya pada zaman Rosulullah Saw
2.       Tidak menyerupai syariah
3.       Dikerjakan untuk kemaslahatan ummat
4.       Terdapat kendala untuk mewujudkannya, seperti sarana
5.       Ma’qul (dapat diterima akal)

Bid’ah
1.       Adanya motivasi untuk menambah pahala (tetapi para sahabat tidak melakukannya)
2.       Menyerupai syari’ah (ditentukan cara dan waktunya)
3.       Dikerjakan untuk mencari keutamaan (mubalaghah) dalam ibadah
4.     Tidak terdapat kendala untuk mewujudkannya, karena sarana menunjang dan sangat memungkinkan
5.       Ghayr ma’qul (irrasional)

Umar bin Khaththab r.a. pernah melontarkan kalimat “ni’matul bid’atu haadzihi” sebaik-baik bid’ah adalah ini, ketika beliau menganjurkan agar shalat tarawih berjamaah dilakukan dengan seorang imam. Pada mulanya shalat tarawih yang dilakukan para sahabat itu berkelompok dengan beberapa imam. Mereka datang ke masjid pun tidak bersamaan. Bid’ah yang dimaksud beliau itu adalah cara yang tidak dilakukan sebelumnya (bukan mengada-ngada dari sunnah)
Zaman Rosulullah Saw pun pernah terjadi shalat qiyamu Ramadlan (tarawih) berjamaah di masjid, beliau sendiri yang menjadi imam. Sebagaimana diceritakan oleh Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari pada kitab Tarawih, “Pada tengah malam di bulan Ramadlan, Rosulullah Saw keluar kemudian shalat di masjid, ada beberapa orang yang berma’mum kepada beliau. Keesokan harinya orang-orang itu bercerita kepada para sahabat yang lain. Malam kedua yang berma’mum itu bertambah lagi, dan keesokan harinya mereka bercerita lagi, (maka tersiarlah berita tentang shalat berjamaah dengan Rosulullah Saw) sehingga pada malam ketiganya masjid Nabawi itu penuh sesak, dan Rosulullah Saw tetap keluar untuk sholat. Malam keempatnya tambah banyak lagi tetapi beliau tidak keluar sehingga keluar untuk sholat shubuh. Selesai shalat shubuh beliau berkhutbah, beliau menjelaskan kekhawatirannya cara seperti itu akan memberatkan ummatnya.
Jadi, bid’ah dalam perkataan Umar itu adalah menurut bahasa bukan menurut istilah sebagaimana yang dikhawatirkan Rosulullah Saw “setiap bid’ah itu sesat” (Wallahu a’lam)

Sumber Risalah no.11 th.49 Februari 2012 hal 24 (Ust. Rahmat Nadjib)

2 comments:

  1. Mustari. Keterangan yang sangat bagus dan jelas! Syukron dan izin share di pengajian. Nuwun, Syokron. Jazakumullah!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah bila diterima... :)
      Sangat senang mendengarnya...

      Delete