September 6, 2011

Hidup itu pilihan dan harus tetap berjalan

Sebuah coretan tentang Istikhoroh di tengah rentetan peristiwa hati

Dibawah ini, saya akan mengutarakan tentang pentingnya sebuah Istikhoroh dalam menentukan pilihan. Yang saya tulis disini adalah real pengalaman pribadi. Namun niat saya disini bukan curhatannya, tapi substansi yang terkandung pada tulisan saya ini.

Ketika itu, saya dihadapkan akan kondisi ketika harus memilih dua pilihan yang sangat rumit. Antara meneruskan kuliah atau berhenti untuk mengabdi di Pesantren tercinta saya. Saya sampai menghabiskan berbulan-bulan lamanya untuk menentukan pilihan yang terbaik yang harus diambil.

Semua berawal ketika saya masih menduduki semester pertama di sebuah sekolah tinggi di Bogor. Ketika itu, angkatan saya masih hangat-hangatnya merasakan perpisahan dari sahabat seperjuangan dan menempuh kehidupan baru diluar yang sangat kompleks dan rawan akan penyimpangan. Jujur saja saya sangat berat untuk berpisah dengan mereka, terlalu banyak kisah yang saya dapat dari mereka; dengan mereka; dan untuk mereka. Untuk itu, saya berniat untuk selalu membuat sebuah relasi diantara kami dengan mengadakan berbagai event yang bersifat reuni.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, kurasakan waktu begitu cepat berlalu. Akhirnya saya berhasil membuat dan merancang kegiatan Reuni Akbar di Pesantren saya, Pesantren Persatuan Islam 04 Cianjur.

Begitu senang dan bangganya mereka dengan apa yang saya dan tim PAHI kerjakan. Cukup terpuaskan merekan dengan terselenggaranya kegiatan tersebut. Memang acara PAHI ini merupakan rutinan setiap tahun diadakan dalam rangka menyambut tahun ajaran baru. Nama PAHI ini adalah singkatan dari Pekan Amal dan Haflah Imtihan. Dan di PAHI ini memang ditradisikan sebagai reuni terselubung diantara semua angkatan yang pernah mengenyam pendidikan disini.

Namun, PAHI 2010 ini sangat berbeda dari sebelumnya. Mengapa?? Karena disini, acara Reuni Akbar dengan resmi dan tersusun rapih diadakan. Meskipun yang hadir tidak semua angkatan dan jenjang pendidikan, namun saya tetap bangga akan keberhasilan yang kecil ini. Dengan pencapaian ini, maka rasa cinta dengan Pesantren ini makin menjadi-jadi. Jam kuliah pun berani saya korbankan hanya untuk mengerjakan konsep Reuni tersebut, jam makan pun berani saya lewati demi update undangan lewan FB.

Dengan alasan inilah, kecintaan akan Pesantren ini sangat besar yang menyebabkan keinginan untuk berhenti kuliah pun tak terbantahkan. Umur saya masih muda, kisaran 18tahun saat itu, wajar saja jika masih belum konsisten akan sebuah PILIHAN dan terkesan plin plan. Namun, itu bukan sebuah patokan saya tidak bisa menentukan pilihan itu, hanya saja butuh waktu untuk menentukan itu. Menimbang, memilah dan memilih mana yang paling baik untuk saya.

Saat itu, saya sangat bertekad untuk berhenti atau pindah dari kampus itu. Keinginan saya sudah bulat saat itu. Namun, masih ada hal yang mengganjal hati saya waktu itu, saya tidak tahu apa itu dan kenapa. Saya mencari informasi dari teman saya, sahabat, asatidz, kakak kelas, bahkan kepada orang tua saya. Saya usut satu persatu permasalah yang sedang dihadapi. Saya beberkan kepada mereka akan tekad saya yang ingin keluar saja, lalu saya minta saran dan usul kepada mereka, setuju atau tidak untuk pindah.

Beberapa orang telah saya jadikan sebagai narasumber untuk membantu mendukung atau menolak keputusan saya. Ada yang pro, ada yang kontra. Itu relatif dan pasti seperti itu.

Namun, ada hal-hal menarik diantara usulan dari mereka yang mendukung atau tidak. Ada yang bilang : “Dek naon pindah kampus??? Boga elmu naon jeung hirup engke mun teu kuliah, Jang???” (Buat apa pindah kampus??? Punya ilmu apa buat hidup nanti jika tidak kuliah, Jang??) Saya terkejut sekali mendengar jawaban dari guru saya itu. Saya langsung mengajak ia berdiskusi tentang ketergantungan kuliah itu sebagai penyambung hidup. Saya katakan, banyak orang sukses, berhasil tanpa mengenyam pendidikan kuliah dahulu. Karena kuliah itu hanya merupakan legalitas pendidikan di strata yang lebih tinggi dari SMA. Buat apa kuliah kalau hanya ingin mendapatkan sertifikat saja??

Ada pula yang bilang: ”Pami emang parnatos henteu sreg, mending oge ngalih we ka nu langkung sae, supados tengtrem ka anjeunna oge, kasep” (Kalaupun sudah tidak cocok, mending pindah saja biar hatimu tentram, cakep). Sebuah untaian indah dari ibunda tercinta. Ia bak pelita ditengah kegelapan malam yang menerangi langkah si gelap menuju jalan yang ditujunya. Namun saya masih belum puas dengan jawaban-jawaban itu. Saya terus mencari, merenung, menghayati, berfikir secara jernih tanpa ada kaitan dengan egoisme yang besar di hati.

Ada dua poin penting kenapa saya masih bingung saat itu.

1. Jika saya pindah, saya berniat untuk menjadi pengajar dan pendidik disana, Pesantren tercinta. Saya mempunyai segudang rencana untuk direalisasikan dengan rekan yang mempunyai satu visi, satu misi dengan saya pribadi, demi kemajuan Islam umumnya, dan kemajuan Pesantren saya khususnya. Rencana-rencana tersebut memang dari dulu, sejak saya masih di bangku Mu’allimien ingin saya laksanakan. Dimulai program bahasa asing sampai administrasi yang harus dibenahi, itu sudah saya rencanakan matang-matang. Namun, karena faktor umur yang masih kecil sehingga saya menyimpan rencana tersebut dibenak saya, dan suatu saat PASTI saya terbitkan itu di halaman awal program kerja pribadi, Insya Allah.

Namun, saya kuliah disana, sekolah tinggi itu adalah dengan program beasiswa. Hal yang semua orang inginkan, karena sebagian beban biaya orang tua itu terbantu dan tidak terlalu memberatkan. Saya sudah mendapatkan itu, masa harus disia-siakan??? Harus dibuang begitu saja??? TIDAK....!!!!
Kalaupun saya harus keluar yang notabene mencabut kontrak beasiswa, saya harus mengganti beban yang telah dikeluarkan donatur (pemberi beasiswa) selama belajar disana. Masya Allah. Harus diganti??? Mengingat hal itu, saya mengurungkan niat untuk pindah. Saya tidak mau membebani orang tua dengan berlipat keadaan. Uang kuliah diganti, biaya hidup makin besar, waah..... TIDAAAAKK!!
Saya mulai merekontruksi paradigma tentang kuliah. Langsung saya coret dan hapus kata “pindah/berhenti”

2. Jika saya tetap untuk kuliah. Masalahnya saya sudah terlampau tidak betah. Sudah terlanjur jelek mindset tentang kuliah yang gitu-gitu aja. Belajar, organisasi, ujian, KRS, magang, skripsi, wisuda, lulus, nyari kerja.... Yaahh.. Ngapain gitu??? Mending langsung aja ke Pesantren, kerjaan dapet, banyak ladang amal yang bisa saya lakukan disana. Mendidik, mengajar, berbakti, dll.

Saat itu, kenapa mind set saya jelek dengan kuliah, karena melihat kondisi sekarang yang terlalu mengandalkan titel daripada skill. Terlalu bangga dengan nama kampus daripada bangga dengan profesionalitas yang dimiliki. Orang menjadi materialistis dengan kuliah, menghitung segalanya hanya dengan faktor yang nampak saja, sedangkan hal abstrak namun sangat urgen itu, yakni skill, dinomorduakan. Apakah itu hal yang difikirkan oleh para sarjana yang sudah menghabiskan 16 tahun pendidikan hingga S1??? Dan 21 tahun hingga S3??

Sesungguhnya jika kalian tahu, berapa banyak orang yang bangga dengan prospek kerja yang besar, yang diembel-embelkan dengan “mudah mencari kerja”. Saya berfikir, ia mudah, NAMUN MENCARI SAJA, DAPATNYA???? KAGAK..!!! Lagian, (maaf ni bagi mahasiswa yang sangat PICIK pemikirannya) kuliah tu jangan diorientasikan untuk mencari kerja saja. Orientasikan kalian belajar itu hanya untuk Allah sahaja. Untuk Allah saja. Belajar setinggi apapun, selama kapanpun, jika diniatkan bukan untuk Allah, maka sia-sialah kalian belajar. Kalian hanya akan mendapatkan ilmu itu saja. Tidak dengan nilai ibadahnya. Bukankah manusia itu diciptakan untuk beribadah?? Makanya. Image saya tentang kuliah itu sudah jelek, karena melihat kondisi seperti itu.

(Semua yang saya utarakan diatas, itu hanya persepsi pribadi. Bukan mutlak benar, namun insya Allah saya bisa mempertanggungjawabkan apa yang saya tulis diatas)

Kedua hal tadi berkutat difikiran saya selama beberapa minggu. Hingga akhirnya saya putuskan untuk curhat, cerita tentang segala keluh kesah ini kepada sang Pemberi Rahmat dan Rahim, Allah SWT. Saya mulai melaksanakan sholat Istikhoroh, memohon untuk diberikan bantuan untuk memutuskan hal terbaik yang harus dipilih.

Namun ternyata, ada hal baru yang saya dapat. Ini bukan dari buku, ataupun dari omongan siapapun. Ini saya rasakan sendiri, ternyata Istikhoroh itu :

1. Tidak akan memberikan jawaban dari do’a secepat membuat kopi seduh. Do’a itu tidak akan diijabah langsung sehabis kita berdo’a. PASTI ADA PROSES, CEPAT atau LAMBAT.
2. Kadang menggunakan media lain yang bersangkutan dengan permasalahan sebagai jawaban dari do’a. Misalnya, minta diberi petunjuk, siapa jodoh yang harus dipilih. A, B, atau C. Namun Allah memberikan jawaban dengan tabrakan mobil, ternyata barang yang tidak selamat itu adalah celana (C) dan baju (B), jadi otomatis kita diberi petunjuk untuk memilih A, karena hanya A yang selamat.
3. Membutuhkan sifat Istimror. Berturut-turut dilaksanakan, tidak hanya sekali saja.
4. Tidak harus selalu menggunakan momen tertentu untuk sholat Istikhoroh, kapanpun, dimanapun selalu bisa. Meskipun ketika sholat biasa (wajib atau sunnah lain). Yang penting itu do’a yang kita panjatkan.
5. Dan ini yang paling penting. Istikhoroh itu membutuhkan keadaan dimana Iman kita sedang “mode on”. Karena pada prinsipnya, istikhoroh itu membuktikan kadar keimanan kita pada Qodho dan Qodar (rukun iman ke-6) tentang hasil apapun yang didapat, asalkan pada jalur yang diridhoi-Nya, sabarlah!!! Itu yang paling penting. Makanya, keimanan kita harus dalam keadaan yang “mode on”. Hanya pribadi kita sendiri yang mengetahui kadar keimanan sedang naik atau sedang memble, yang pasti rutin dalam meminta dan berharap, itulah hal yang Allah suka.

Itulah. 5 poin penting yang saya rasakan sendiri tentang Istikhoroh.

Akhirnya, dengan mengucap Bismillahirahmaanirrahiem. SAYA KEMBALI KE KAMPUS DAN KULIAH DISANA. Bukan berarti saya “neleg ciduh sorangan” (menelan air liur sendiri), tapi saya mengawasi segala gerak gerik yang saya lakukan sendiri, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Jika dulu saya takut dan ill feel akan kuliah, maka saya harus menghindari hal tersebut dan membuat sebuah benteng agar saya tidak terjerumus kesana. Begitupun dengan hal yang saya takutkan jika berhenti dari kuliah, saya coba hilangkan dan mengganti semua dengan hal yang lebih baik lagi.

Jadi benarlah pepatah yang mengatakan “Hidup itu Pilihan”. Memang kita itu sering berkutat pada nafsu yang menyelimuti jiwa dan mind set kita. Kadang fikiran kita itu terlalu mendogmatisasi segala hal menurut orang lain saja, padahal jika dibuktikan sendiri belum tentu seperti itu. Saya analogikan begini: Tai kucing rasanya apa?? Heran, orang-orang ko pada bilang “asem”??? Memangnya mereka pernah mencoba memakannya??? Asem itu kan bau yang dikeluarkan oleh ěě tersebut. Bukan rasanya. Seperti jengkol, memang jengkol itu bau, busuk malah. Lantas itu membuktikan rasa jengkol itu busuk pula???. Itulah mengapa kita tidak mencoba memakan tai kucing itu dan membeberkannya kepada orang-orang: “Saya sudah membuktikan sendiri, tai kucing itu rasanya........................., tidak asem”

Pilihan itu tidak selalu dua hal saja. Kadang kala tiga atau bahkan lebih banyak dari itu, yang pasti pilihan itu bersifat dominasi saja. Kita memutuskan memilih sepatu berwarna kuning karena kita mempunyai motor berwarna kuning, tidak warna hitam. Kita memutuskan memilih si “A” karena dia adalah orang yang paling berbeda dengan kita, sehingga membutuhkan sosialisasi dengan dia agar benar-benar mencintai dia apa adanya.

Inti dari tulisan ini adalah sikap konsisten kita terhadap berdo’a itu sangat perlu, karena do’a tidak akan dalam sekejap mata terkabul, namum membutuhkan kepada sifat rutin yang selalu mengiringi dalam do’a tersebut.

Itu mungkin hal yang ingin saya bagikan kepada temen-temen semua, semoga bermanfaat. Saya tekankan, apa yang saya tulis diatas, TIDAK mutlak benar, namun insya Allah saya bisa mempertanggungjawabkan apa yang saya tulis itu. Okeh... Ditunggu masukannya..!!!

November, 2nd 2010
Start: 19:45
Stop: 21:44

0 comments: